30 Maret 2016

Kerangka Dinamis Menangani Konflik Organisasi: Catatan 18 Tahun KAMMI

Oleh: Anis Maryuni Ardi
Pengurus PP KAMMI 2015-2017, Mahasiswa S2 Universitas Pertahanan (UNHAN)

Delapan belas tahun bukanlah perjalanan yang mudah bagi sebuah organisasi untuk menemukan bentuk ideal. Tumbuh dalam waktu yang cukup lama memerlukan konsistensi dan persistensi dalam pengelolaannya. Basis keanggotaan yang tersebar secara meluas di berbagai kampus di Indonesia, menjadikan heterogenitas dalam organisasi ini sangat kentara. Meskipun begitu, entitas pemersatu sebagai mahasiswa muslim menjadikan visi mudah disebarluaskan. Secara struktural, pastilah akan muncul dinamika dan berbagai konflik dalam mengelola KAMMI sebagai organisasi yang independen. Melalui kesempatan ini, penulis mencoba melihat pola seni mengelola konflik yang ada pada tataran kepengurusan pusat dalam 2 (dua) periode estafet kepemimpinan.

* * *
Perbedaan pada hakikatnya bisa memberikan manfaat dan sekaligus bisa menciptakan krisis. Huruf China untuk kata krisis terdiri dua huruf yang berarti bahaya dan peluang (James & Gilliland, 2005). Akibat krisis, rnaka suatu organisasi pastilah berubah. Krisis mendorong cara-cara baru, pilihan-pilihan baru, intervensi baru dan kekuatan untuk menyelesaikan masalah. Maka harus diyakini bahwa karena krisislah suatu organisasi berkembang dengan pesat.

Mengambil kajian psiko-politik dari Platon, akar konflik dari manusia adalah berasal dari pertentangan daya (prinsip) yang ada dalam jiwa manusia dimana pertentangan prinsip ini jika tidak dikendalikan dapat menghancurkan seorang individu itu sendiri. Menurut Platon, terdapat tiga prinsip yang ada dalam jiwa manusia:

Pertama, prinsip untuk belajar (rasional) yaitu prinsip rasional yang membuat manusia kadang tidak menuruti begitu saja rasa laparnya. Padahal rasa lapar adalah sebuah tanda untuk makan. Walaupun rasa lapar ini normalnya harus dipenuhi , namun faktanya terkadang terdapat sesuatu penolakan. Che Guevara pernah menyatakan bahwa manusia bukan seonggok perut. Sesungguhnya kami rela lapar demi martabat,” Katanya.

Kedua, prinsip untuk merasa marah (thumos). Thumos bukan hanya sekedar rasa amarah semata, karena yang dimaksud adalah soal rasa marah moral dan rasa marah akan skandal moral yang dilihat. Thumos merupakan hasrat atau semangat yang meluap-luap. Dan ketiga, prinsip untuk hasrat bersenang-senang (ephitumia) yang berkaitan dengan nafsu dan keinginan, bukan kebutuhan. Untuk yang ketiga ini penulis merasa tidak perlu menjelaskannya lebih jauh.

Dalam gerakan sangat naif jika kita hanya melihat pada sisi aktivisme dan ideologisasi saja. Proses pengendalian dan penyelesaian konflik, juga merupakan ruang kerja yang jelas, bagaimana suatu kepengurusan bisa merekonsiliasi “despute” atau ketegangan yang dapat mengganggu berjalannya organisasi secara umum. Dalam kepengurusan pusat KAMMI periode 2013-2015 sempat berlangsung reintegrasi di beberapa daerah. Sampai pada periode kepengurusan 2015-2017 rekonsiliasi ini berhasil menemukan titik cerah. Artinya, kerja estafet antar periodisasi kepengurusan tidak putus dan tetap terpelihara walaupun dengan strategi kepemimpinan yang berbeda.

Pertanyaannya, bagaimana strategi PP KAMMI dalam mengelola dinamika tersebut?

Dengan adanya intervensi sosial, kata strategi merujuk pada pengertian Si Kahn, yaitu peta jalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu diperlukan perencanaan hingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Si Khan, Organizing: A guide for a grass root leaders, 1981). Untuk menjalankan strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan suatu taktik dan aktivitas-aktivitas yang spesifik. Serangkaian kegiatan untuk pemberdayaan bagi masyarakat yang tidak diuntungkan pada suatu wilayah tertentu, secara partisipatif dengan bertumpu kepada kerangka teori dan metodologi psikologi sosial yang tepat guna. Strategi intervensi sepenuhnya diarahkan oleh visi dari intervensi.

Di tahun ke-18 ini, tren dinamika yang muncul adalah mengorganisir internal agar kepengurusan menjadi efektif dan optimal. Secara pribadi penulis melihat pasca musyawarah kerja nasional belum ada aktualisasi wacana yang mengarah pada evaluasi tegas pengurus yang dilihat dari kinerjanya. Dalam suatu tatanan struktur, adanya tata ulang (reshuffle) bukanlah sesuatu yang patut dihindari, juga dilaksanakan. Pengurus dalam konteks ini harus selesai secara ideologis dan komitmen bekerja dalam tatanan yang disepakati secara kolektif. Sebagai konsekuensi spirit jayakan Indonesia 2045, kerja kolektif harus diutamakan melalui basis kompetensi dan profesionalitas.

Dalam menjawab dinamika konflik dalam bentuk perang wacana dan potensi perpecahan, Pengurus Pusat mampu mengatasi dengan hasil yang cukup positif, namun gerakan ini tidak boleh dibesarkan oleh daya spiritualitas dan intuisi saja. Budaya sungkan untuk melakukan evaluasi tidak boleh dipelihara. Keseriusan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tidak bisa dibenturkan dengan rasa sungkan. Struktur harus lebih artikulatif terhadap kebutuhan gerakan. Dalam berbagai persoalan, belum begitu nampak pola dinamisasi yang menonjol.

Usulan penulis adalah menciptakan sebuah sistem yang mampu mengkuantifikasi produktifitas bidang, pengurus maupun program, mekanisme evaluasi yang berkelanjutan dan pergantian ini merujuk pada sistem yang berkelanjutan. Sehingga ketika masuk dalam periode akhir kepengurusan, tidak ada missing link dalam penyelesaian tupoksi yang sudah di rencanakan melalui aktivitas-aktifitas yang spesifik. []

29 Maret 2016

Mengagungkan Akal, Menuhankan Logos: Catatan untuk Penisbat Radikal pada KAMMI

Oleh: Yusuf Maulana
Penulis buku "Aktivis Bingung Eksis", "Konservatif Ilmiah", dll.

Nama Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911  M) terbilang amat asing dalam kajian filsafat Islam. Menurut Ibrahim Madkur dalam Fii al-Falsafah al-Islaamiyyah, yang dinukil oleh A. Khudori Saleh (2014), Ibnu Rawandi tergolong murid cerdas dalam majelis kaum Muktazilah. Sayang, Ibnu Rawandi di kemudian hari berbalik arah menyerang kelompok lamanya itu. Tidak hanya itu, ia pun meragukan bahkan menyerang ajaran Islam. Prinsip kenabian, baginya, bertentangan dengan akal sehat. Demikian pula syariat-syariat yang dibawa Islam, tidak masuk akal. Akal sudah memadai untuk menggapai kebenaran tanpa harus melibatkan agama, sebab toh ia anugerah dari sang Maha Pencipta.

Ibnu Rawandi begitu kesengsem pada filsafat. Filsafat, sebagaimana diyakini sebagian orang, tak lain aktivitas mencari kebenaran tertinggi. Sayang, akal kemudian mencampakkan keberadaan wahyu Ilahi. Melibatkan wahyu dianggap tidak keren. Sebaliknya, mencukupkan pada akal belaka malah dipandang keren: tengah beraktivitas bak filosof. Di kelompok inilah Ibnu Rawandi melanjutkan kesengsemnya berfilsafat dengan memfanatiki kekuatan akalnya. Ia tidak canggung untuk mencela habis keyakinan yang pernah dijalaninya.

Kisah mengagumi hingga berujung menyegalakan filsafat ternyata dialami juga oleh Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M). Sebagaimana dituliskan A. Khudori Saleh, al-Razi juga menolak konsep kenabian dengan tiga alasan. Pertama, akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk. Kedua, semua orang terlahir dengan kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan. Maka, tidak ada alasan untuk mengistimewakan beberapa orang untuk membimbing yang lain. Ketiga, ajaran para nabi sendiri ternyata berbeda, padahal mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama.

Akal, sekali lagi, memperlihatkan kekuatannya hingga menembus keyakinan diri yang mantap bahwa kenabian adalah sia-sia. Sungguh “luar biasa” jalan pencapaian al-Razi sampai seperti itu. Menyimpulkan bahwa tidak boleh ada yang diistimewakan sebagai pembimbing yang lain, ditambah senantiasa ada perbedaan antar-nabi. Filsafat tampaknya telanjur merasuki al-Razi tanpa memikirkan konsekuensi apabila nabi “dibunuh” dari pikiran berarti ada keterputusan dengan wahyu. Wahyu kiranya yang hendak dimatikan, alih-alih meragukan kenabian. Sebab menegasikan kenabian sama artinya merobohkan sekaligus wahyu dan tatanan yang dibangun oleh sebuah dien—Islam dalam hal ini.

Kita cukupkan uraian soal dua filosof mbalelo di atas. Keyakinan dan keteguhan pada simpulan akal diri mereka sesungguhnya sejajar sebagai—dalam bahasa para pengkaji posmo—logos. Tidak hanya nilai, tapi juga isme dan dien itu sendiri. Ya, tentang ideologi, isme, ataupun dien akal. Tuhannya adalah akal, nabinya adalah sel syaraf-syaraf yang melingkupi kerja otak manusia. Kitab sucinya berupa penalaran lewat silogisme beraturan tertentu.

Keasyikan mencicipi filsafat boleh jadi lahirkan kesilapan sebagaimana dua nama tadi. Parameternya tentu dengan worldview Islam. Cara pandang yang tidak hanya tabu mempermasalah, malahan meletakkan wahyu sebagai titik sentral menganalisis. Pelajaran berarti dari kegigihan mereka berdua adalah kepedihan bahkan kenaifan. Sayangnya, justru mereka fanatiki tanpa membuka ruang untuk melihat dengan sudut yang tidak berpaku pada akal kebanggaan masing-masing.

Saya ingin meletakkan dua filosof di atas untuk menjelaskan tentang kekaguman berlebihan pada ide baru, atau ide yang jadi tren dan pasaran. Ide yang karenanya niscaya untuk diikuti lantaran sarat gengsi. Ide yang datang belakangan sebetulnya, tapi dianggap sebagai pembaruan dan terobosan sarat kebaikan. Adanya filsafat begitu memesona Ibnu Rawandi dan al-Razi. Akal yang jadi tema sentral seolah memuaskan dahaga pencarian batin keduanya.

Tema sentral bisa juga terkait gagasan radikalisme. Radikalisme menempatkan diri sebagai logos untuk menyingkirkan ide-ide lainnya yang lebih dulu ada. Ya, ketika makna, konsep kunci, cakupan hingga dataran praktis dimonopoli tafsirannya oleh kalangan pemegang kuasa. Di sini, kekuasaan dan pengetahuan (yang melibatkan para akademisi) bekerja erat. Mendefinisikan dan mengotak-kotakkan kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Acuan dan rujukannya pada kerja pemikir bentukan negara ini. Sekurang-kurangnya menggunakan kerangka berpikir yang dipakai para akademisi yang  bersekutu dengan kekuasaan mendefinisi radikalisme.

Untuk memuja teori dan konsep radikalisme, kepatutan adab yang dituntut agama bisa terlupakan. Karena kekaguman pada radikalisme, semua kalangan dipaksakan untuk masuk dalam kerangka berpikir yang dibanggakan. Maka, sebagaimana Ibnu Rawandi dan al-Razi yang sudah jatuh cinta pada akal, demikianlah yang terjadi pada mereka dengan kekasih bernama radikalisme. Menjadikan radikalisme sebagai narasi mendefinisikan orang lain, termasuk saudara sekeyakinan sendiri. Radikalisme sebagai ayat untuk menjelaskan yang lain (liyan) sesuai preposisi dan asumsi yang dipercayainya.

Soal benar atau tidak, sahih atau sesat, logis atau irasional, semua seperti tunduk pada kerangka bersusun yang dianggap ilmiah. Terlebih lagi ketika wacana didukung kekuatan negara sepenuhnya. Jadilah wacana semisal akal dan radikalisme kian kokoh dan menguat sebagai dogma. Meski awalnya diyakini sebagai kebaikan dan jalan menuju kebenaran sejati, dogma baru ini malah menghancurkan para pesaing yang ada. Tidak ingin ada suara berbeda selain kebenaran yang diyakini. Tidak mengherankan apabila pengerasan dan militansi pun hadir. Begitulah yang didapati pada kedua filosof tadi, berani meninggalkan komunitas lamanya dan balik menentang keras.

Radikalisme semua diyakini sebagai pemetaan untuk melihat kelompok (terutama) keagamaan yang memegang kuat doktrin. Tidak sebatas memegang doktrin yang sering dinilai tekstual (literer di mata para kritikusnya), berikutnya hadir kekerasan di ruang publik. Kekerasan lisan hingga tindakan nyata meneror. Pikiran untuk memetakan belakangan “gatal” untuk turut menstigma. Objektif dan jujur sudah berbaur dengan isi kepala dan motif bawah sadar yang senantiasa bergolak untuk direnung-pikirkan.

Sebagian peneliti dan/atau akademisi yang berbicara radikalisme pada subjek bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesa (KAMMI) tidak kurang mengidap penyakit serupa dua filosof tadi. Ada yang bertitel peneliti LIPI, lantang berteriak KAMMI sebagai kelompok radikal, tanpa menjelaskan lebih panjang detail maksud retorikanya. Publik kadung menangkap curiga terhadap statemennya. Tudingan berbalik penelitian mengabaikan kemungkinan premis yang disusun berganti peran sebagai bahan propaganda. Sebab, isi pikiran dan prasangka sudah tebal berkerak, tidak ingin disingkirkan oleh kenyataan sebenarnya. Logos untuk mengharuskan ciri-ciri yang diketahui secara dangkal sebagai ciri kelompok radikal, melupakan tanggung jawab sang peneliti untuk bertindak dingin ketika memverifikasi setiap informasi.

Namun yang terjadi, justru kenyataan di lapangan (yang tidak bersesuaian dengan premis untuk publik) malah gagal ditarik dalam kesimpulan tanpa dengki. Hanya dengan ciri-ciri mengajarkan ini dan itu, entitas yang dituju seperti KAMMI langsung dikotakkan sebagai ciri gerakan radikal. Signifikansi dan alat ukurnya tidak lagi penting karena sejak semula memang sudah meyakini keabsolutan pikirannya. Ya, bahwa KAMMI mencirikan kekuatan anak muda radikal.

Celakanya, lapisan konseptual sang peneliti ditelan mentah-mentah oleh seorang guru besar kampus negeri keislaman. Sang guru besar kembali mengulang wacana yang diyakininya absah bahwa mahasiswa kampus negeri umum mudah dicekoki doktrin dan radikalisme. Sang guru besar malah membanggakan anak didiknya yang kritis terhadap setiap pemikiran. Logos sang guru besar adalah mengunggulkan kekuatan mahasiswa kampus Islam, dan sebaliknya meremehkan kalangan mahasiswa kampus umum—utamanya dari fakultas sains.

Sang guru besar diam-diam dan tanpa disadari sudah melakukan kepongahan dengan meletakkan mahasiswanya superior di atas mahasiswa fakultas sains. Seolah kekuatan nalar mahasiswa sains hanya kuat secara instrumentalis belaka; hanya cocok jadi pesuruh dari para penalar. Menyia-nyiakan kepintaran untuk kemudian menerima setiap bujukan ajaran baru kendati itu sesat. Tidak jelas bagaimana mengukur hikmah dan kebijakan dari fakta yang ditemui sang guru besar.

Begitulah, ketika nilai dan prasangka sudah menguat lebih dulu—lebih-lebih dari sebuah pencarian panjang—maka akan mudah dipegang erat-erat. Diyakini sepenuh hati seolah kebenaran itu sendiri otomatis ada padanya. Yang dianutinya niscaya absolut, sementara di luarnya masih perlu koreksi hingga penganuliran. Bila untuk menghapuskan kecintaan pada ajaran Islam dan kenabian saja bisa diperbuat para pengagum akal, akan lebih mudah lagi melupakan peran sejarah kelompok perubahan semisal KAMMI oleh para pengkaji tema radikalisme. Radikalisme dengan sekian ciri dan indikatornya sudah jadi ayat mutlak untuk dipegang dan enggan diperdebatkan. Melampaui semua kemungkinan berbeda, termasuk pendapat dan gagasan milik dirinya dari kesilapan.

Akhirnya, penisbatan kalangan peneliti ataupun akademisi senior terhadap KAMMI tidak perlu direspons dengan panik. Kedewasaan aktivis KAMMI dalam umur 18 tahun perlu ditempa dengan penilaian, anggapan, hingga stereotip ala orang lain. Bisa jadi ngawur dan kacau logika sertai argumentasinya, tapi bagaimanapun juga itu pengaya khazanah. Dalam keterbatasan mereka ada ruang untuk mengoreksi dan menempatkan KAMMI sesuai lajur semestinya. []

28 Maret 2016

KAMMI Harus Mulai Terlibat dalam Agenda-Agenda Kerakyatan

Oleh: Zulfikhar
Ketua Kebijakan Publik KAMMI Maluku Utara

Setiap jatuh tanggal 29 Maret, kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di seluruh penjuru tanah air antusias merayakan kelahiran organisasi yang didirikan di Malang pada 1998 silam ini. Begitu pun dengan tahun ini, di mana KAMMI kini genap berusia 18 tahun. Suatu usia yang jika diibaratkan dengan usia manusia, bisa dikatakan telah memasuki usia dewasa.  Kendati, kualitas usia KAMMI tentu tidak dapat disamakan dengan kualitas hidup manusia yang kita ketahui berproses lama. Sebab, saat ini cabang KAMMI telah tersebar di kampus-kampus dari Aceh hingga Papua. Begitu pun kontribusi KAMMI bagi gerakan mahasiswa secara nasional, sudah tidak diragukan lagi daya pukulnya.

Di usia yang masih sangat belia ini jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, KAMMI tentu saja perlu banyak belajar dan melakukan refleksi. Sudahkah keberadaan KAMMI selama 18 tahun ini memberikan sumbangsih besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia atau belum. Refleksi ini penting, mengingat organisasi kemahasiswaan pasca reformasi mulai di pandang para cendekiawan semakin jauh dari keberpihakannya pada rakyat. Terkhusus organisasi kemahasiswaan Islam seperti KAMMI. Organisasi kemahasiswaan hanya di anggap sebagai kelompok intelektual kelas menengah, yang bertugas menjembatani kepentingan rakyat dengan pemerintah, tetapi jarang terlibat dalam perjuangan bersama rakyat. 

Terbukanya keran reformasi pada 1998 silam, rupanya tidak seiring sejalan dengan membaiknya kesejahteraan rakyat Indonesia. Konflik yang menghadapkan pemerintah di satu pihak dan rakyat di pihak lain masih terus saja berlangsung. Penggusuran tanah rakyat di Kedungombo pada dekade 1980-an masih terjadi di era sekarang. Konflik agraria di Mesuji, Jambi, Riau, Kulonprogo, Rembang dan Gane merupakan beberapa contoh dari ratusan kasus lainnya.

Pada akhir 2015 kemarin, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis data terjadinya  252 konflik agraria di atas tanah seluas 400.430 hektar di seluruh Indonesia. Jika pada 2014, sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang konflik tertinggi, maka pada 2015 bergeser pada sektor perkebunan. Dengan rincian, perkebunan 127 kasus (50%), infrastruktur 70 kasus (28%), kehutanan 24 kasus (9,6%), pertambangan 14 kasus (5,2%), kemudian lain-lain 9 kasus (4 %) (Berdikari Online, 2015). Data tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan sejak 2011 di mana terjadi 198 kasus. Imbasnya, 440 ribu (0,2%) penduduk Indonesia saat ini menguasai 56% aset di seluruh tanah air (Kompas, 2012). 

Tidak hanya tanahnya saja yang di gusur, rakyat juga masih mengalami pemiskinan secara struktural selama beberapa tahun terakhir. Pada September 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 28,51 juta jiwa (11,13%). Lebih tinggi dari September 2014 yang mencapai 27,73 juta jiwa (10,96%). Begitu juga angka ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin juga semakin lebar (baca: koefisien gini). Pada Desember 2015, koefisien gini kita 0,42. Lebih tinggi dari 2010 yang mencapai 0,38, lebih-lebih pada tahun 2000 yang hanya berada pada angka 0,30 (Liputan6.com, 2015). Tidak heran, BPS menyebutnya sebagai angka ketimpangan tertinggi sejak negara ini merdeka.

Fakta di atas juga diperkuat oleh data Credit Suisse pada 2014 yang dicatat Bank Dunia tentang adanya 10% penduduk yang menguasai 77% dari keseluruhan aset dan kekayaan negara ini (Lampost.co, 2015). Tentu saja data ini praktis menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya memang tak seberapa, jika dibandingkan dengan keberpihakan pada aktifitas perusahaan-perusahaan besar yang tidak sedikit memicu konflik dengan rakyat.

Nicos Poulantzas (1972) mengemukakan, bahwa akar ketidakberpihakan pemerintah berangkat dari tugasnya sebagai penjaga stabilitas (Budiman, 1996). Sementara, dalam menciptakan stabilitas, pemerintah selalu bergantung pada kemampuannya menjalankan roda pemerintahan. Di mana roda pemerintahan mustahil bergerak jika tak ada pemasukan. Yang tentu saja datang dari pajak dan royalti yang dibayarkan perusahaan.

Kini, KAMMI dituntut untuk mempertanggungjawabkan posisinya sebagai penyambung lidah rakyat. Masihkah hanya terus terpaku pada isu-isu klasik yang tak jarang jauh dari permasalahan rakyat sehari-hari. Isu korupsi, energi, kasak kusuk kabinet pemerintahan dan imperialisme di belahan dunia lain memang penting, tetapi apakah isu kemiskinan, penggusuran, perampasan lahan rakyat yang letaknya hanya puluhan kilometer tidak jauh lebih penting?

Memasuki usia ke 18 ini, telah tiba saatnya bagi KAMMI untuk memulai gerakan berorientasi kerakyatan. Pola gerakan yang tidak lagi menjadikan rakyat sebagai objek penindasan, tetapi sebagai subjek yang mampu mengakhirinya. Karena KAMMI lahir di tengah-tengah rakyat, maka sudah sepatutnya bersama rakyat KAMMI berjuang.[]

12 Desember 2015

Tradisi Kultural KAMMI

M. Sadli Umasangaji 
Aktivis KAMMI di Ternate

“Kekanglah luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan akal dengan gelora perasaan” (Imam Hasan Al-Banna)

Jika melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu. Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (lihat Anis Matta, 2014). 

Tentunya yang penulis sadari bahwa yang membuat daya hidup KAMMI dan terus berkembang adalah ranah Dakwah Tauhidnya. Disisi lain KAMMI dalam perjalanannya maka KAMMI perlu reposisi sebagai tambahan daya hidupnya. Karena jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan (lihat Anis Matta, 2013).

Homo Islamicus dan Intellectual Freedom 
KAMMI sendiri memiliki output pengkaderan yaitu Muslim Negarawan. Karakter Muslim Negarawan, yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Selain Muslim Negarawan, ada sebuah frasa yang pernah didiskusikan dalam Jurnal KAMMI Kultural, yakni Homo Islamicus. Karena Muslim Negarawan yang terkesan mengandung makna bentuk perjuangan yang melalui ranah politik dan kekuasaan Negara. Maka Homo Islamicus, yang dituliskan Dharma Setyawan yang dikutipnya dari Seyyed Hossein Nasr, Homo Islamicus adalah bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Dia meramu segala bentuk kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan wahyu untuk menciptakan maslahah (manfaat). Homo Islamicus membuat kader bisa berdiaspora dimana saja sesuai kompetensinya dengan bersandar pada nilai-nilai keislaman.

Homo Islamicus adalah intelektual profetik dalam arti yang lebih makro (Setyawan, 2013). Intelektual Profetik sendiri dalam GBHO KAMMI, Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. 

Kemampuan manusia yang diandalkan itu ialah rasionya. Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio. Maka seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran (Madjid, 2013). 

Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia dengan karena keterbatasan kemampuannya tidak dapat sekaligus mengerti seluruh alam ini melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, menjadi rasional adalah juga berani progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak diterima akal, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekalipun bersikap rasional itu suatu keharusan yang mutlak, rasionalitas itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu 

Sebagaimana Idea Of Progress dan Intellectual Freedom yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013), Idea Of Progress bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan oleh Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Manifestasi dari adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi idea of progress ialah kesediaan “sikap terbuka” kepada menerima dan mengambil nilai-nilai dari mana saja, asalkan mengandung “kebenaran”. 

Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir, dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. 

Jadi, sejalan dengan Intellectual Freedom, harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran objektif, mengandung kebenaran. Harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik. 

Rasionalitas yakni dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak. Nurcholis Madjid (2013) menempatkan bahwa Islam memerintahkan rasionalitas, tetapi tidak rasionalisme. Islam menuntut agar setiap orang itu rasional tetapi tidak rasionalis.
          
Pikiran-pikiran itu betapun salahnya kelak, merupakan kulminasi pemikiran manusia tentang kehidupan dirinya sendiri dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelaahan yang realitis dan penuh keuletan berpikir atas gejala sosial dan historis.

Intelektual Kolektif
Untuk mengembalikan otonomi intelektual yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik sebagai fondasi utamanya (Sugiarto, 2013). Intelektual kolektif berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak terkonsenterasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi (Safitri, 2014).

Maka Intelektual Kolektif untuk memelihara opini umum yang akarnya adalah Dakwah Tauhid dan Intelektual Profetik. Dalam GBHO KAMMI, Gerakan Dakwah Tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dan Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. 

Hingga ujung dari Dakwah Tauhid adalah kita akan membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita, sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya (al-Banna, 2012).

Maka tantangan intelektual KAMMI adalah semakin menjamurnya pemikiran kader dan tokoh-tokoh KAMMI. Baik dalam ranah-ranah pemikiran maupun dalam bentuk karya dan lembaga-lembaga intelektual. Dengan tradisi kader, membaca, berdiskusi, dan menulis. Menghidupkan dialetika wacana dalam budaya literasi dan dalam perspektif Islami. Sebagaimana masa-masa kejayaan Islam. Kepahlawan zaman kejayaan didominasi oleh semangat perfeksionisme dan inovasi. Ini menjelaskan tipikal kepahlawan zaman kejayaan, biasanya terjadi paling banyak pada bidang pemikiran, kebudayaan, bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan, dan pembangunan fisik, serta berorientasi pada spesialisasi yang rumit dan detil sebagai simbol kesempurnaan. Seperti kreativitas Imam Syafi saat beliau merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqih, atau temuan dan inovasi Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran, atau kedalaman Imam Ghazali, Ibnu Jauzi, Ibnu Qayyim dalam bidang akhlak atau Al-Jahiz dalam bidang sastra, dan seterusnya (Matta, 2013).

Atau sebagaimana ungkapan Syekh Said Hawa (2014), penelitian harus dihadapi dengan penelitian, institusi harus dihadapi dengan institusi, penerbitan harus dihadapi dengan penerbitan, dan sloganpun harus dihadapi dengan slogan. Semua harus dilihat dalam perspektif Islam. Prinsip dasar ini didapatkan dalam kehidupan Rasulullah, beliau menghadapi syair dengan syair, pidato dengan pidato, dan perang juga dengan perang. Maka tantangan dan tradisi intelektual KAMMI adalah ledakan karya sebagai reposisi dan daya hidup KAMMI yang baru. Mengutip bahasa KAMMI Kultural, hanya upaya sebagai “memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”, inilah tradisi intelektual KAMMI.

Tradisi Kultural 
Tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Dengan demikian, terjadilah proses kemajuan yang terus-menerus dari kehidupan manusia, sesuai dengan fitrahnya, dan dengan sejalan dengan watak hanifnya (merindukan kebenaran). Seharusnya seorang “Muslim” adalah seorang yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaan yang relatif. Seorang “Muslim” adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya di hadapan Tuha. Sebab itu, seharusnya pula seorang “Muslim” adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, menantang segala perubahan nilai-nilai kemanusiaan. (Madjid, 2013). 

Dalam gagasannya, Bowo Sugiarto (2013), menguraikan bahwa Gerakan mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif ini. Semangat tentang pentingnya kemandirian intelektual, keterlibatan politik, dan penggabungan intelektual dari beragam bidang ilmu dapat direplikasi ke tubuh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang anggotanya terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang bidang ilmu dapat membumikan gagasan Bourdieu itu dalam skala yang lebih kecil.

Agar dapat mengadopsi gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif, gerakan mahasiswa harus mengakumulasi modal kultural dengan cara mengembangkan kompetensi yang dimiliki anggotanya yang berasal dari beragam bidang ilmu tersebut. Pengembangan kompetensi itu tidak melulu hanya berkisar di ruang-ruang perkuliahan, tetapi juga melalui forum-forum diskusi dan penerbitan tulisan-tulisan yang sedapat mungkin merupakan kajian ilmiah. 
 
Dalam ranah ini, saya menyebutnya sebagai “tradisi kultural”. Tradisi Kultural bagi saya terdiri atas kesetaraan dan keikhlasan dan terejawantahkan melalui tulisan (berbagi gagasan). Tradisi Kultural inilah yang bagi saya mirip dengan slogan Jurnal KAMMI Kultural, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama”. Dan setahu saya slogan ini tanpa tafsiran yang pasti, maka semuanya “berwenang” memberikan asumsi.

Ahmad Rizky Mardatillah Umar (2015) kiranya mendefenisikan “Bergerak Tanpa Kasta” dengan membawa semangat egalitarian. Mendorong setiap anggota biasa KAMMI, tak peduli apapun status perkaderan ataupun posisi 'struktural'-nya di KAMMI, untuk menjadi generasi pembelajar. Untuk belajar kepada siapapun dan mampu menarik hikmah dari apapun. Banyak tempat untuk belajar di dunia pergerakan maupun di luar. Bergeraklah, oleh karenaya, tanpa kasta, dengan semangat pembelajaran.

Sedangkan “Berjuang Tanpa Nama”, menurut Umar (2015), adalah konsekuensi untuk menciptakan perubahan tanpa harus terbebani dengan label atau nama. Terlebih-lebih menurut Umar (2015), Berjuang tanpa nama menyiratkan satu pesan: apapun perjuangan kita, hendaknya ikhlas lillahi ta'ala, mengajarkan kita untuk mencipta tanpa mengharap balas jasa. Juga mengajarkan kita satu hal lain: konsistensi dalam perjuangan, untuk setia di garis massa. Bahwa tak selamanya perjuangan dilakukan di atas panggung yang hiruk-pikuk dengan pengeras suara dan tabuhan gendang. Perjuangan kadang kala dilakukan di balik panggung, di bawah tempat penonton menikmati hiburan, atau mungkin di ruang-ruang yang selama ini terlupakan oleh para politikus. Tempat yang kadang sunyi, penuh onak dan duri, dan sering juga terabaikan. Tapi dengan semangat keikhlasan, insya Allah hal-hal semacam itu bisa dilalui sebagai pembelajaran. Umar mengidentikan “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” sebagai generasi “Muslim Pembelajar”.

Sedangkan Dharma Setyawan (2013), menafsirkan, gerakan kultural sebagai sebuah gerakan kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi atau jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.

“Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” terpatri dalam kesetaraan, keikhlasan, dan bentuk manifestasinya adalah menulis (berbagi gagasan). Kesetaraan dapat diidentikkan dengan totalitas dan persaudaraan. Menurut Hasan al-Banna (2012) totalitas adalah bahwa engkau harus membersihkan pola pikir dari prinsip nilai dan pengaruh individu yang lain, sebab ia adalah seutama-utama, selengkap-lengkap, dan setinggi-tinggi fikrah. Sedangkan persaudaraan, menurut Hasan al-Banna, bahwa hendaknya berbagai hati dan ruh berpadu dalam ikatan akidah. Akidah adalah ikatan yang paling kokoh dan paling mahal. Ukhuwah merupakan saudara keimanan. Kekuatan pertama adalah persatuan, tiada persatuan tanpa cinta kasih, sedangkan cinta kasih yang paling lemah adalah lapang dada dan puncaknya adalah itsar (mengutamakan orang lain dari diri sendiri). 

Imam Hasan al-Banna juga berkata, “Terus terang saya bangga dengan kesatuan ikhwan yang tulus ini, sangat senang dengan ikatan rabbani yang kokoh ini, dan sangat optimis menatap masa depan selama kalian tetap bersaudara karena Allah, saling mencintai, dan saling tolong-menolong. Karena itu jagalah persatuan ini, sebab ia merupakan senjata dan bekal utama kalian”. Inilah “Bergerak Tanpa Kasta”.

Keikhlasan. Hasan al-Banna mendefinisikannya, bahwa seorang al-akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan perjuangannya hanya kepada Allah SWT, mengharap keridhaan-Nya, dan memperoleh pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara kepentingan dan yang hanya ambisi pribadi. Keikhlasan tentu berkawan dengan pengorbanan. Pengorbanan menurut pandangan Hasan al-Banna, mengorbankan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala sesuatu yang dipunyai seorang untuk meraih tujuan. Tidak ada perjuangan tanpa disertai pengorbanan. Selain pengorbanan, maka pendamping dari keikhlasan adalah keteguhan. Keteguhan menurut Imam Hasan al-Banna, adalah bahwa hendaknya senantiasa bekerja sebagai pejuang di jalan yang mengantarkan oada tujuan, meski masa amat jauh dan tahun-tahun terasa panjang hingga bertemu dengan Allah. Inilah “Berjuang Tanpa Nama”.

Manifestasinya adalah berbagi gagasan. Pada hakikatnya bagi saya setiap kader memiliki benih untuk menulis. Saya mengatakan seperti ini karena saya menyakini setiap kader memiliki kebiasaan membaca yang baik. Saya percaya bahwa kader harus menulis adalah karena Goethe berasumsi bahwa “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia dengar, apa yang ia lihat dan alami, ia jadikan pola. Ia percaya apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam setiap perjalanan dan dalam setiap peristiwa ia memperoleh bahan baru untuk ditulis atau dikarangnya”.

Kader harus menulis karena pada dasarnya, “Membiasakan diri, membuat catatan, apa yang dipelajari setiap hari. Itulah ciri seorang pembelajar”. Menulis merupakan suatu tradisi baik untuk mahasiswa, pegawai kantor, wiraswasta, dan pengusaha karena dengan adanya tulisan sendi kehidupan akan terus berlangsung. Menulis juga berarti mengasah ketajaman otak dan menyeimbangkan dengan tangan sehingga menghasilkan sebuah karya. Menulis merupakan proses kreatif seseorang dalam mencari jati diri. Menulis akan memberi kekuatan pikiran menjadi segar dan bersemangat. Dengan mengekspresikan segala yang terekam dari dalam otak dengan menyeleraskan kata-kata hingga menjadi sebuah tulisan. Bukankah Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Menulislah selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”. 

Hasan al-Banna dalam “Kewajiban Aktivis (Pejuang)” menuliskan “Hendaklah engkau meningkatkan kemampuan baca tulis. Hendaklah engkau banyak mengkaji risalah-risalah, surat-surat kabar, majalah-majalah Ikhwan, dan yang sejenisnya. Hendaklah engkau berusaha memiliki perpustakaan pribadi, meskipun sekecil apapun. Bila engkau memiliki spesialisasi, maka hendaklah menekuni keilmuan dan keahlianmu. Dan hendaklah mengenal persoalan Islam secara umum yang dengannya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah”. 

Demikian juga dengan Sayyid Qubth, seorang pembaca “kelas berat” dalam waktu yang lama. Seorang sastarawan yang piawai dalam menguraikan kata indah dan seorang aktivis harakah yang jujur dalam beropini. Bahkan Sayyid Quthb dapat dijadikan contoh ril, dimana ia adalah seseorang yang telah menghabiskan waktunya, selama kurang lebih 40 tahun, untuk membaca. Selama itu, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk menelaah dan meneliti hampir semua bidang ilmu pengetahuan manusia, beberapa ilmu memang menjadi spesialisasinya dan sebagian lainnya karena hobi (membaca). Kemudian ia kembali membaca sumber-sumber akidah dan ideologi Islam. Tak disangka, sedikit demi sedikit dari apa yang pernah ia pelajari di Barat, ternyata ia menjumpainya dalam perbendaharaan Islam yang kaya, memang demikian adanya. 

Demikianlah, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” adalah kesetaran dan keikhlasan dalam berkarya. Karena dengan itu, kita merindu dengan sederhana, mencintai dengan karya. Itulah tradisi kultural, dengan karya, kita mencintai KAMMI dengan sederhana. Begitulah ledakan karya. Dan bukankah Muhammad Natsir mengungkapkan, “Mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai”.

Bahan Bacaan:


  1. Al-Banna, Hasan. 2012. Majmu’atur Rasail Jilid I (Cetakan Kesepuluh). Penerbit Al-I’tishom. Jakarta.
  2. Hawwa, Said. 2014. Fi Afaqi At-Ta’alim. Penerbit Era Adicitra Intermedia. Surakarta
  3. Madjid, Nurcholis. 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan (Edisi Baru, Edisi Kedua). Penerbit Mizan. Bandung.
  4. Matta, Anis. 2013. Mencari Pahlawan Indonesia. Cetakan Keempat. The Tarbawai Center. Jakarta
  5. Matta, Anis, 2014. Gelombang Ketiga. The Future Institute. Jakarta
  6. Quthb, Sayyid, 2012. Ma’alim Fi Ath-Thariq Cetakan Keempat. Darul Uswah. Yogyakarta.
  7. Safitri, Alikta Hasnah. 2015. Intelektual KAMMI; Profetik Menuju Kolektif. http://www.kammikultural.org/2015/01/intelektual-kammi-profetik-menuju.html
  8. Setyawan, Dharma. 2013. Muslim Negarawan dalam Gugatan. http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/20/muslim-negarawan-dalam-gugatan/
  9. Setyawan, Dharma. 2013. Kultural Pasti Berlalu. http://www.kammikultural.org/2013/09/kultural-pasti-berlalu.html
  10. Sugiarto, Bowo. 2013. Meneguhkan Otonomi: KAMMI dan Proyek Intelektual Kolektif. http://www.kammikultural.org/2013/05/meneguhkan-otonomi-kammi-dan-proyek.html
  11. Umar, Ahmad Rizky Mardatillah. 2015. Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama. http://www.kammikultural.org/2015/08/bergerak-tanpa-kasta-berjuang-tanpa-nama.html